Home » » Jangan Ada Kebencian Walaupun Badai Fitnah Dihadapanmu!

Jangan Ada Kebencian Walaupun Badai Fitnah Dihadapanmu!

Written By Admin Tuesday, July 10, 2012 - 11:57 AM WIB | 0 Komentar

Indahnya ketika sakit karena difitnah, bila kita mampu merasakan penuh kerendahan….

Indahnya ketika sakit karena dihujat, bila kita bisa diam mengambil hikmah dari hujatan itu….

Karena sesungguhnya sakit itu sendiri tidak ada, karena nampak sekali itu adalah ujian Allah bagi hati yang terbuka! Akan tetapi ketika matahati tertutup yang nampak bukan Tuhan yang memberi rahmat, akan tetapi yang nampak orang yang menfitnah dan menghujat kita anggap sebagai lawan.

Jangan sekali-kali kita mempunyai lawan dan jangan sekali-kali menciptakan lawan!

Sekali merasa mempunyai lawan terganjal sudah perjalananmu menuju kepada Tuhanmu, maka orang selamat tidak punya lawan, ketika disakiti dia tidak pernah membalas dan tidak pernah merasa itu adalah lawan.

Jangan ada kebencian walaupun badai fitnah dihadapanmu! Jangan ada sakit hati walaupun cacian menerpamu! Sekali merasa benci otomatis engkau telah menciptakan lawan, dan besok diakhirat pasti akan ditemukan dan pasti akan dituntut dan saling menuntut.

Sakitnya hati ini indah, kalau kita memandang bahwa semua itu skenario Tuhan, kita harus tunduk dengan sakit itu.

Ingat dan perhatikan…!!!

Satu langkah itu diatur, bukan langkah kita akan tetapi aturan Tuhan, langkah kita adalah sunnatullah bukan kita yang melangkah karena kita ini tidak ada sebab kita ini adalah ciptaan dan tidak mampu melangkah.

Masya Allah… begitu berat hidup itu!!!

Dibalik itu hikmah sungguh besar tapi nafsu yang melarang untuk menerima hikmah yang datang dari fitnaan itu, dan itu harus diperangi.

Ketika kita disakiti paksa untuk menerima, paksa untuk mengalah, paksa untuk diam jangan kau perbolehkan nafsu andil ikut bersemayam didalam hatimu, karena orang yang berfikir jernih pandangannya hanya Tuhannya!

***

Ingatkah kisah khalifah Umar Bin Khattab ketika mendapat cacian dan fitnaan dari janda tua?

Suatu masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun kelam. Dimana masyarakat Arab, mengalami masa sulit yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.

Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.

Malam itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak.

Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.

“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.

Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.

“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.

Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”

“Apakah ia sakit?”

“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”

Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.

Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”

Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!”

Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”

Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.

“Buat apa?”

Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa.

Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”

 Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”

Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.

Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu….”

Dengan wajah merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”

Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika terseok-seok Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum menuju ke tempat wanita dan anak-anaknya yang sedang kelaparan. Ketika sampai di tempat wanita tersebutk kemudian khalifah Umar meletakkan karung berisi gandum dan beberapa liter minyak samin ke tanah, kemudian memasaknya. Tatkala gandum tersebut sudah masak Khalifah Umar meminta sang ibu membangunkan anaknya.

“Bangunkanlah anak untuk makan.”

Anak yang kelaparan tersebut bangun dan makan dengan lahapnya. Anak tersebut kembali tertidur dengan perut yang telah kenyang.

“Wanita itu berkata, terimakasih, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan pahala yang berlipat.”

Sebelum pergi khalifah Umar berkata kepada wanita tersebut untuk datang menemui khalifah Umar bin Khattab ra, karena khalifah akan memberikan haknya sebagai penerima santunan negara.

Esok harinya pergilah wanita tersebut ke tengah kota Madinah untuk menemui khalifah Umar bin Khattab ra, dan tatkala wanita tersebut bertemu dengan khalifah Umar, betapa terkejutnya wanita tersebut, bahwa khalifah Umar adalah orang yang memanggulkan dan memasakkan gandum tadi malam.

***

Apalah jadinya jikalau cacian, fitnaan dan hinaan dibalas dengan kekejaman oleh khalifah Umar Bin Khattab? Bukan kasih sayang yang terjadi malah semakin meluas fitnaan itu.

Sungguh indah jikalau cacian, fitnaan dan hinaan dibalas dengan kasih sayang, ternyata cacian, fitnaan dan hinaan membawa kasih sayang.

Maka jangan sekali-kali pernah mengujat orang lain, jangan sekali-kali pernah menyalahkan orang lain karena sekali engkau membenci dan menyalahkan orang lain, maka satu musuh yang kita tanam.

Walaupun berat perjalanan hidup, semoga Allah meridhoi langkah perjuangan ini… Amin..

###

Ditulis oleh : Muhammad Yudhi (10 Juli 2012)

Sebarkan:

0 comments :

Post a Comment