Di suatu kesempatan “Kiai,
maafkan saya! Maafkan saya!” Aku tersungkur-sungkur di kaki Kiai
Husain. Aku memegangi dua tungkai kakinya yang kurus. Aku berusaha merendahkan
kepalaku sedalam-dalamnya. Tetes- tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing
pipiku. “Maafkan saya, Kiai… Maafkan saya…” Aku terus-menerus
mengulangi kalimat itu.
Dua tangan Kiai Husain
memegang lengan kiri dan kananku, “Bangunlah,” katanya, “Aku
sudah memaafkanmu.” “Tapi, Kiai…” Aku terus berusaha merendahkan
diriku di hadapan Kiai Husain yang sedang berdiri, “Bagaimana mungkin
semudah itu? Bagaimana mungkin semudah itu?”.
Kali ini Kiai Husain
mencengkram kedua bahuku dan berusaha mengangkat tubuhku, “Berdirilah,”
katanya, “Aku sudah memaafkanmu.” Dengan lunglai, aku
berdiri. Aku terus menundukkan wajahku. “Bagaimana mungkin semudah itu,
Kiai?” Aku terus mengulangi ketidakpercayaanku.
Kiai Husain tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari semua ini,”
katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah
apapun dari diriku.”
Aku terus menundukkan
kepalaku. Aku didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa minggu
belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini kujelek-jelekkan secara
membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: kiai palsu lah,
kiai partisan lah, kiai liberal lah—bahkan aku juga menyebarkan fitnah-fitnah
keji tentangnya: Bahwa pesantrennya dibiayai cukong-cukong hitam, bahwa ia
menganut aliran sesat, bahwa ia tak Ingin Islam maju, dan apapun saja yang bisa
menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.
Aku menatap Kiai Husain
yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di ruang bacanya.
Bagaimana mungkin selama ini aku tega menghina, menjelekkan dan memfitnahnya
hanya gara- gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda denganku
Padahal aku tahu
hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama, waktu luangnya diisi
dengan membaca al-Quran dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, dan kebaikan
hatinya telah meringankan serta melapangkan banyak kesulitan orang-orang di
sekelilingnya. Apalah aku ini dibandingkan kemuliaan dirinya? Siapalah aku ini
dibandingkan keluhura budi pekertinya?
“Kiai, ajarkan saya
sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga nada bicaraku, tak ingin sedikitpun sekali
lagi menyinggung perasaannya.
Kiai Husain terkekeh. “Apa
kau serius?” Katanya. Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh
keyakinan. “Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan
saya.”
Kiai Husain terdiam
beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan
diajarkan Kiai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka
Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau
tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan
dosa-dosaku.
Beberapa jenak kemudian,
Kiai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar
perkiraanku— “Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku
benar-benar heran Kiai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan
untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Kiai?” Aku berusaha memperjelas maksud Kiai Husain. Kiai Husain
tertawa, seperti Kiai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit
terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya,
temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.
Tampaknya Kiai Husain
benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng
di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?” Kiai
Husain tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,”
katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap
kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu
jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”
Aku hanya bisa
mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Kiai Husain adalah
agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya
satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
“Kau akan belajar sesuatu
darinya,” kata Kiai Husain. Ada
senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
Keesokan harinya, aku
menemui Kiai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai
bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.
“Ini, Kiai, bulu-bulu
kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya
berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua
perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah
saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan
saya, Kiai. Maafkan saya…”
Kiai Husain
mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut
mukanya. “Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali
kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus
belajar sesuatu…,” katanya.
Aku hanya terdiam
mendengar perkataan Kiai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku. “Kini
pulanglah…” kata Kiai Husain. Aku baru saja akan segera beranjak untuk
pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya,
“Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan
saat kau menuju pondokku tadi…” Aku terkejut mendengarkan permintaan
Kiai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di
sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi
kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang
bisa kau kumpulkan.” Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan
Kiai Husain. “Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup
Kiai Husain.
Sepanjang perjalanan
pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di
sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit
menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel
di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana
saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui. Tapi aku harus menemukan
mereka!
Aku harus terus mencari
ke setiap sudut jalanan, ke gang- gang sempit, ke mana saja! Aku terus
berjalan. Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang
dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam
lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.
Hari sudah menjelang
petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya
lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya,
hanya lima helai. Lima helai.
Hari berikutnya aku
menemui Kiai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu
kemoceng itu pada Kiai Husain. “Ini, Kiai, hanya ini yang berhasil saya
temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kiai Husain.
Kiai Husain terkekeh. “Kini
kau telah belajar sesuatu,” katanya. Aku mengernyitkan dahiku. “Apa
yang telah aku pelajari, Kiai?” Aku benar-benar tak mengerti. “Tentang
fitnah-fitnah itu,” jawab Kiai Husain. Tiba-tiba aku tersentak.
Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
“Bulu-bulu yang kaucabuti
dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan.
Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya,
fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana.
Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke
berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang
tak mungkin bisa kauhitung!”
Tiba-tiba aku menggigil
mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang
paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang
menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut
lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu
dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau
akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah
menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak ingin
mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang
telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus
lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam, sehingga tak ada
orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”
“Fitnah-fitnah itu telah
menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai
dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka
tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah
telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak
bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal
dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi.
Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah
memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”
Tangisku benar-benar
pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirullah al-adzhim…
Astagfirullahal- adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Aku hanya
bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua
ujung mataku.
“Ajari saya apa saja
untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kiai. Ajari saya! Ajari saya!
Astagfirullahal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat. Kiai
Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah
memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa
mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya
bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus
menerima taubat manusia… InnaLlaha tawwabur-rahiim…”
Aku disambar halilintar
jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan
sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku
ingin membacakan doa- doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu! “Kini
kau telah belajar sesuatu,” kata Kiai Husain, setengah berbisik.
Pipinya masih basah oleh
air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang
yang kausakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam
dari pembunuhan”
“Dan fitnah itu lebih
besar bahayanya dari pembunuhan.”(QS Al-Baqarah:191).
-#####-
0 comments :
Post a Comment